Tradisi Tabungan Beras

Penganut Bonokeling tidak Pernah Kelaparan

WARGA Desa Pekuncen Kecamatan  Jatilawang Banyumas Jawa Tengah mempertahankan tradisi tabungan beras.*
EVIYANTI/PRLM
WARGA Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas Jawa Tengah mempertahankan tradisi tabungan beras.*
BANYUMAS, (PRLM).- Tidak satu butir pun nasi oleh penganut kepercayaan Bonokeling di Desa Pekuncen Kecamatan  Jatilawang Banyumas Jawa Tengah terbuang sia-sia.
Setidaknya hal tersebut tidak menyebabkan sedikitnya  5.000 jiwa   yang tinggal di daerah tandus tersebut, tidak mengalami kelaparan atau kurang pangan, bahkan sebaliknya  hidup tentram, gemah ripah loh jinawi. Padahal, Desa Pekuncen dikelilingi pegunungan, merupakan wilayah tandus, sebagian lahannya adalah sawah tadah hujan yang hanya bisa panen sekali dalam setahun.
Lokasinya dari  kota  Purwokerto  hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam. Letak desa itu sendiri berada di sebelah selatan Purwokerto sebelum Cilacap. Jika ingin sampai ke desa tersebut, maka cukup dengan menemui Kyai Kunci, yakni ‘raja’ atau ketua adat masyarakat setempat. Kyai Kunci yang kini dijabat oleh Sumitro yang paham mengenai geliat kehidupan panganut Bonokeling.
Kearifan lokal membuat penganut Bonokeling mampu mempertahankan tradisi yang turun temurun sejak ratusan tahun silam. Mereka masih mempertahankan tradisi kegotongroyongan dalam berbagai bidang kehidupan, hingga pangan. Meski hanya menguasai  60 hektare lahan sawah  tadah hujan, yang  bisa panen satu kali setahun,  dan  370 hektare   ladang tandus.
Kondisi alam yang keras telah disiasati dengan kearifan lokal. Warganya sebagian besar terdiri dari petani dan buruh tani. Kehidupan mreka tidak menjadi papa, sebaliknya sejahtera. Dengan pangan yang melimpah menurut ukuran trah Bonokeling yang bersahaja.
Sesepuh Adat Bonokeling Sumitro mengaku, di Desa Pekuncen ada 23 rukun tetangga, setiap RT memiliki tabungan pangan berupa lumbung padi, yang dikelola masing-masing RT. Besarnya tabungan pangan masing-masing  RT berbeda berkisar antara 1.5 ton hingga 6 ton dalam bentuk gabah. Belum simpanan pribadi yang ada di rumah masing-masing.
Setiap warga wajib menyetor minimal 50 kilogram, beras setiap warga punya hak untuk meminjam dengan bunga pinjaman 10 persen yang disetor dalam bentuk gabah. Pinjaman akan dikeluarkan pada saat musim paceklik, mereka akan mengembalikan  saat sudah panen.
Bahkan semua infrastruktur desa seperti jalan dan sarana lainnya dibangun dari dana swadaya sendiri. Anggaran yang digunakan berasal dari penjualan gabah  dari lumbung.  Penganut Bonokeling sangat memegang luhur, prinsip gotong-royong yang dipertahankan secara turun temurun selama ratusan tahun .
“Biaya dari hasil penjualan sebagian gabah di lumbung, kita jual kepada warga Bonokeling yang mampu. Hasilnya untuk perbaikan sarana. Tapi tidak semua gabah kita jual, tetap kita sisakan untuk kebutuhan simpan pinjam, sampai untuk ritus adat Bonokeling," katanya.
Di samping tabungan beras mereka memiliki tabungan jenis pangan lain, seperti oyek, ganyong, ketela pohon serta jenis umbu-umbian lainnya. Secara tidak sadar penganut Bonokeling telah melanggengkan deversifikasi pangan secara mandiri. Meski pada era Orde Baru, penduduk mulai dicekoki dengan beras sebagai bahan pangan pokok. Makanan pokok mereka sebelumnya bukan beras tapi oyek.
“Dulu kita makan oyek dan beras, untuk makan satu keluarga satu gelas beras dicampur dengan oyek satu bakul. Kini sebaliknya oyek satu gelas dicampur dengan beras satu bakul, kita sekarang sudah kaya beras,” kata Sumitro.
Tapi ada kalanya pada musim paceklik, volume oyek ditambah. Kadang kala dengan umbi-umbian seperti suwed atau ganyong. Diversifikasi pangan berlanjut hingga saat ini, saat dimana tetangga desa lainnya hanya makan beras  melulu.

Bahkan untuk mempertahankan ketersediaan pangan sepanjang tahun,  usai panen, bonggol padi  dibiarkan tetap tumbuh, hingga muncul bulir padi. “Hasilnya tidak  seberapa tapi kalau  telaten dikumpulkan jadi banyak,” jelas kyai kunci.
Ladang yang luasnya tidak seberapa mereka tanaman dengan berbagai jenis tanaman, sehingga tidak heran jika semua  kebutuhan dapur. Sudah dipenuhi dengan hasil berladang,  mulai dari singkong sayur, cabe sampai  minyak goreng pun dibuat sendiri. Hanya garam yang tidak bisa mereka buat sendiri. Bahkan sekarang mereka menjadi pemasok sayuran  bahan pangan umbi-umbian, oyek di pasar setempat. Satu kilogram oyek dijual Rp 6.000,00.
.
Begitu berharganya bahan pangan bagi penganut Bonokeling, sehingga menyisakan dalam piring bagi warga perbuatan pamali. Sisa nasi tetap dimanfaatkan bahkan masih punya nilai ekonmi.
Dengan telaten  para ibu mengertinkan sisa makan untuk dibuat nasi aking. Hal tersebut bisa terlihat disetiap halaman rumah warga, banyak  dijumpai  jemuran nasi bekas, yang dipapar dengan tampah. Sawiyem (48) mengaku nasi aking masih bisa dijual seharga Rp 2500 per kg. Dalam satu bulam dia bisa mengumpulkan minimal 5 kilogram.”Lumayan masih bisa dijual untuk tempe atau tahu,” katanya.
Hampir semua ibu rumah tangga melakukan hal yang sama. Menurutnya adalah perbuatan dosa jika membuang rejeki  yang sudah diberikan  Gusti Pangeran (Tuhan).  “Ajaran nenek moyang  setiap jangkal tanah harus dimaanfatkan sebaik-baiknya. Pamali membuang makanan,” terangnya.
Kyai Kunci menambahkan,  Saat ini warga setempat masih memiliki stok tabungan nasi aking sebanyak 3 ton. Sebab orang yang membutuhkan nasi  aking cukup besar,  pembelinya  berasal  Cilacap, Banjarnegara hingga Kebumen.
Karifan lokal mereka tunjukan hingga mereka meninggal. Pranata inilah yang dipercaya masyarakat setempat bisa menjadi pedoman hidup mereka. Mulai dari lahir hingga saatnya berkalang tanah, pengikut ajaran Bonokeling tak pernah lepas dari ‘pakem’ ajaran mereka.
Saat meninggal, penganut kepercayaan tersebut juga akan dibuatkan model pakaian seperti itu. Bahannya dengan kain lawon tentunya. Kain Lawon mereka pintal sendiri bahan bakunya berasal dari kapas yang ditanam sendiri. Proses membuat lawon cukup panjang dan rumit, sebab prosesnya dilakukan secara manual. namun karena sudah menjadi ritual dalam adat Bonokeling maka  lawon tetap dipertahankan selama ratusan tahun.
Menurut salah seorang  perajin Catem, pekerjaan menenun kain lawon  bukan untuk mencari keuntungan, tapi hanya sekedar melestarikan tradisi. sebab keluarga adat Bonokeling akan menyumbang lawon. Namun setiap warga adat diharuskan memiliki satu kain lawon, sebagai persiapan. Bagi para perajin seperti Karsitem Karsilem maupun Catem menenun adalah laku hidup. Mereka menenun tidak hanya untuk mencari sesuap nasi, tapi mengabdi kepada sebuah kepercayaan, kepercayaan Bonokeling. (A-99/A-147)***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makam Bonokeling

Siapa KYAI BONOKELING ??