Ritual ''UNGGAHAN''

Ratusan Penganut Kejawen Unggahan di Makam Bonokeling

Ratusan Penganut Kejawen Unggahan di Makam Bonokeling 

 
Banyumas, - Ratusan penganut Islam Kejawen dari berbagai wilayah di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah mengikuti ritual \\\"Unggahan\\\" di makam Bonokeling, Desa Pakuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Ritual \\\"Unggahan\\\" atau Sadran (mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa sesaji) merupakan tradisi yang digelar setiap Jumat terakhir pada bulan Ruwah (Syaban) guna menyambut datangnya Ramadhan.

Dalam tradisi tersebut, para penganut Kejawen wajib mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu kaum wanita hanya memakai \\\"kemben\\\" (kain jarit) dengan selendang berwarna putih, sedangkan kaum pria harus memakai kain atau sarung serta mengenakan iket (ikat kepala). Sebelum mereka berziarah, mereka wajib untuk berwudhu.

Ritual unggah-unggahan tersebut merupakan acara puncak menyambut bulan puasa. Meskipun pada awalnya, sebelum Islam datang, acara tersebut dilakukan sebelum masa tanam padi. Peserta ritual berasal dari Banyumas dan Cilacap. Mereka datang ke tempat ritual dengan cara berjalan kaki. Saat menuju tempat ritual yang jaraknya bisa mencapai 30 kilometer, mereka dilarang menggunakan alas kaki. Biasanya ritual ini berlangsung selama tiga hari.

Para Kaum Adat Bonokeling dari berbagai daerah tersebut tiba di Desa Pekuncen sejak Kamis (4\/7) untuk mengikuti kegiatan \\\"muji\\\" (semacam zikir) sebagai wujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang digelar pada Jumat dinihari mulai pukul 00.00 WIB hingga 04.00 WIB.

Setelah ziarah selesai, mereka juga menggelar \\\"pisowanan\\\" (pertemuan) dengan juru kunci makam di Bale Agung yang dilanjutkan kenduri di Bale Mangun di kompleks Makam Bonokeling. Makanan yang disantap dalam kenduri tersebut dimasak oleh kaum pria di sekitar kompleks Makam Bonokeling dari bahan-bahan yang dibawa oleh para peziarah.

\\\"Ketika Islam masuk, prosesi unggahan disamakan dengan ritual Sadranan yang biasa dilakukan untuk menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum masuk bulan puasa,\\\" kata juru bicara adat Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas, Sumitro Jumat (5\/7\/2013).

Bonokeling sampai sekarang memang masih misterius. Meski demikian, sebetulnya para tetua adat tahu siapa sebetulnya Bonokeling, namun tidak boleh memberikan keterangan kepada khalayak. “kalau disini disebutnya Kyai Bonokeling, walaupun itu sebenarnya hanyalah nama samaran. Dia adalah tokoh yang berasal dari Pasir Luhur. Pasir Luhur merupakan kadipaten di bawah Kerajaan Padjajaran atau Galuh-Kawali,” katanya.

Setelah masuknya Islam, berbagai budaya ala Bonokeling tetap dipertahankan tetapi mengalami akulturasi. Sehingga ada percampuran yang unik antara tradisi Islam dengan Bonokeling.

Kebersamaan dalam kekerabatan Kaum Adat Bonokeling terus membudaya hingga sekarang. Kuncinya adalah generasi tua yang menularkan tradisi ini kepada anak cucu mereka. Tapi untuk mengikuti tradisi, generasi penerus melakukannya atas keinginannya sendiri.

\\\"Untuk mengikuti tradisi ini tidak boleh ada paksaan, itu kesadaran dan tidak memaksakan kehendak. Semua kemauan sendiri untuk mengikuti ajaran Bonokeling,\\\" ujarnya.

Menurut dia, tradisi ini bisa bertahan semua karena keyakinan, karena keyakinan itulah tradisi ini masih tetap terjaga dimana masyarakat masih tetap menjaga ajaran Bonokeling.

\\\"Inti ajaran Bonkeling sangat sederhana yakni jujur, sabar dan nrimo (menerima),\\\" ungkapnya.

Namun diapun tidak memungkiri jika tantangan terberat untuk menjaga tradisi ini sangatlah banyak, menurut dia, era globalisasi dengan banyaknya teknologi merupakan sebuah tantangan. \\\"Orang sekarang banyak menggunakan teknologi, seperti pengaruh televisi sehingga tidak mengingat jika kita nantinya akan meninggal,\\\" tuturnya.

Dia mengungkapkan, saat ini Kaum Adat Bonokeling yang tersebar di setiap wilayah di kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas yang berada dekat dengan desa Pakuncen jumlahnya sekitar 4 ribu, namun itu belum dengan tamu dari kedua Kabupaten tersebut yang letaknya jauh seperti dari Daun Lumbung dan Adiraja di Kabupaten Cilacap.

\\\"empat ribu itu baru sekitar tetangga Desa Pakuncen yang berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan Banyumas, sedangkan tamu-tamu yang datang tadi jumlahnya sekitar 800 orang,\\\" jelasnya.

Setelah ritual Unggahan selesai, ada pula tradisi Udunan. Namun, tradisi tersebut tidak seramai Unggah-unggahan. Prosesi budaya lainnya yang masih dilangsungkan oleh Kaum Adat Bonokeling adalah Sedekah Bumi. Tradisi ini juga dipimpin langsung oleh sang Juru Kunci Kartasari (70). Ritual tersebut sesungguhnya adalah gelaran doa menjelang masa tanam. Kaum Adat Bonokeling yang bermukim di Desa Pekuncen membawa bahan makanan lengkap dengan lauk pauk dan dibawa ke balai desa setempat. Setelah terkumpul semua, juru kunci berdoa dengan bahasa Jawa meminta kepada Yang Maha Kuasa serta meminta restu para leluhur agar dalam masa tanam tidak ada halangan dan bisa dipanen dengan hasil baik.

Dalam tradisi itu juga digelar acara lempar nasi yang telah dibentuk menjadi bulatan. Lempar-lemparan nasi tersebut sebagai bentuk kebersamaan, sehingga bagi mereka yang terkena lemparan tidak boleh marah. Nasi yang tercecer di jalanan kemudian dikumpulkan kembali dan diberikan kepada ayam dan unggas yang mereka pelihara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makam Bonokeling

Siapa KYAI BONOKELING ??

Tradisi Tabungan Beras